Cerita tentang anak keturunan Bugis-Makassar perantauan.
Seperti pendahuluku, tinggal di kampung halaman adalah Aib
Dan merantau adalah jalan hidup menuju kedewasaan.
Pertengahan tahun 2004, aku dinyatakan lulus Sekolah menengah atas,
Kemudian aku memutuskan untuk mendafatar di Fakulatas Kedokteran, namun gagal, akhirnya aku memutuskan untuk kesuatu pulau di Perbatasan Negara Indonesia dan Negara Malaysia, namanya Pulau Sebatik.
Pict: Courtesy Google
Pulau ini bagian utara milik Malaysia dan berbatasan dengan Kota Tawau Sabah dan Bagian Selatan Milik Indonesia berbatasan dengan Pulau Nunukan Kalimantan Timur, daerah yang berbatasan dengan Indonesia dan Malaysia sering disebut Malindo.
Dan Kawan disinilah cerita hidupku bermula, sebagai anak rantauan Bugis-Makassar, suka duka kualami, namun sebelum menceritakan lebih jauh saya akan mengambarkan seperti apa, Pulau Sebatik itu sendiri serta hubunganya dengan Malaysia.
Sebatik, Satu Rumah di Dua Negara
INI mungkin satu-satunya di dunia. Satu rumah berada di dua negara. Bagian depan rumah berada di wilayah Indonesia, sedangkan bagian dapur berada di wilayah Malaysia. Ada pula yang kamar tidurnya di wilayah Indonesia, sedangkan kamar mandinya di wilayah Malaysia.
INI artinya, jika tidur berada di Indonesia, sedangkan jika akan ke kamar mandi harus melangkah ke Malaysia. Bisa pula diartikan, dalam sehari bisa puluhan kali bolak-balik Indonesia-Malaysia tanpa harus menggunakan kapal laut, pesawat, apalagi paspor! Cukup melangkah di dalam rumah.
Hal itu bisa terjadi karena rumah-rumah tersebut dibangun persis di garis perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di Kecamatan Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Bukan cuma satu atau dua rumah yang dibangun persis di garis perbatasan Indonesia-Malaysia yang tidak berpagar tersebut. Di Desa Aji Kuning saja ada tiga rukun tetangga (RT) yang berada di sekitar garis perbatasan RI-Malaysia, yakni RT 14, RT 15, dan RT 16. Meski demikian, hanya rumah-rumah di RT 14 yang dibelah persis garis perbatasan RI-Malaysia.
Sebagian RT 14 bahkan secara de jure berada luar patok perbatasan, yang berarti masuk wilayah Malaysia, tetapi menggunakan perangkat pemerintahan Indonesia. Mulai dari RT, dusun, hingga kecamatan menginduk ke Pemerintah Kabupaten Nunukan.
Penduduk Desa Aji Kuning yang terletak Pulau Sebatik, Kecamatan Sebatik, ini pun sehari-hari lebih banyak memanfaatkan fasilitas umum yang dibangun Pemerintah Indonesia, mulai dari fasilitas jalan, sekolah, listrik, hingga fasilitas kesehatan. "Bagaimanapun kami ini warga negara Indonesia," kata Ahmad (34), salah seorang warga Desa Aji Kuning.
Meski demikian, karena jaraknya lebih dekat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat lebih banyak mendapatkan barang dari Tawau, Negara Bagian Sabah, Malaysia, yang berjarak cuma sekitar satu jam perjalanan menggunakan perahu mesin menyeberangi laut. Mulai dari gula pasir, garam, gas elpiji, semen, susu, kue, sabun, dan bahkan obat nyamuk didatangkan dari Tawau.
Sebaliknya, produk-produk yang dihasilkan masyarakat Pulau Sebatik, terutama cokelat, pisang, dan rempah-rempah, sebagian besar dijual ke Tawau. Mereka tidak menjual ke Tarakan, Kalimantan Timur, karena jaraknya cukup jauh, yakni sekitar tiga jam perjalanan dengan perahu motor. Ongkosnya juga lebih mahal.
dan disebatik inilah aku betemu dengan sahabat-sahabatku: Anas, Nojeng, Nany dan Juweli bin Jublee...kami sering meneybrang ke tawau, malaysia untuk berbelanja, saya saya tidak pernah lebih dari satu hari menetap disana, karena Passport kami memang hanya mengijinkan untuk tidak tinggal lama. aku berharap suatu hari nanti aku bisa tinggal di malaysia lebih dari satu hari untuk itulah aku ikut kontes Myselangorstory, berharap mimpi itu bisa tercapai.
Berikut ini adalah salah satu teman sahabat saya Anas,
http://www.facebook.com/video/video.php?v=1613377621462
To Be Continued